Thursday, January 22, 2009

Tokoh Sufi (1) Syekh Muzaffer Ozak al Jerrahi

(Dikutip dari : Dekap Aku dalam Kasih SayangMu: Jalan Cinta Pendamba Rida Allah, penerbit: Serambi)


AKU LAHIR dari rahim ibuku, Hajja Aysya Ozak, ke dunia ini pada 1916 M/1332 H. Ibu melahirkanku di rumah kami dekat tekke (tempat para sufi berkum­pul) Darwis Jerrahi di Karagumruk, Istambul, Turki. Ayahku, Hajji Mehmed Efendi dari Konya, ada­lah seorang ulama dan ustaz di istana Sultan Abdul Hamid. Ayahku menjadi ulama pertama dalam ke­luarganya, yakni sebuah keluarga tentara. Dua orang pamanku merupakan para pembawa panji-panji pasukan Ghazi Osman Pasya, seorang pahlawan dari Plevna. Salah seorang pamanku itu berhasil meraih pangkat jenderal berkat keberaniannya mempertahan­kan panji yang digenggamnya dari renggutan pasukan musuh. Sayangnya, dia kelak terluka dalam sebuah pertempuran dan kemudian ditawan oleh tentara Rusia. Akan tetapi, setelah dibebaskan, dia kembali aktif sebagai jenderal di angkatan darat Kekhalifahan Usmaniyah sampai wafatnya. Pamanku yang satunya, Bekir, gugur dalam sebuah pertempuran di Plevna dan dikebumikan di taman makam pahlawan. Keluarga ayahku mempunyai silsilah yang pan­jang, dan bercabang dua: ]ebejioghullari dan Basya­ghaoghullari. Menyempal dari tradisi militer keluar­ganya, ayahku sekolah di medrese (sekolah Islam) Kursyunlu di Suleymaniye, Istambul. Lalu, beliau me­lanjutkan sekolah di Plevna, yang waktu itu masih merupakan bagian dari Kekhalifahan Usmaniyah. Di sanalah beliau kemudian menikah dengan ibuku, Aysya Hanum. Ibuku merupakan cucu Seyyid Hussein Efendi, Syekh Halveti di Kota Yanbolu. Ayahnya bernama Ibrahim Agha, seorang tentara berpangkat kapten dari distrik Eregli di tepi Laut Hitam, yang pernah kuliah di sebuah akademi kelautan semasa kekuasaan Sultan Mahmud Sang Adil. Akibat jatuh sakit selama berkelana ke Bulgaria, kakekku Ibrahim Agha ber­obat ke tekke Yanbolu. Di sinilah kakekku bertemu dengan Syekh Hussein Efendi, dan selanjutnya ber­gabung dengan tekke ini setelah menikahi putrinya. Seyyid Hussein Efendi masih memiliki hubungan ke­kerabatan dengan gubernur Yanbolu. Manakala provinsi-provinsi Balkan lepas dari ke­kuasaan Usmaniyah pada 1878 M/1293 H, anggota­anggota keluargaku yang masih selamat bermigrasi ke Istanbul, tempat ayahku bekerja di istana kesultanan. Para leluhur ayahku termasuk Klan Kizil­kecheli dari Suku Kayi Turk, sedangkan keluarga ibu­ku, adalah para seyyid yang merupakan keturunan 'Ali, saudara sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw.

Ayahku, Mehmed Efendi, meninggal secara tragis ketika aku baru berumur enam bulan. Kakakku, Murad Reis, lolos dari maut selama berlangsungnya perang pada 1914-1918, yang merenggut nyawa banyak saudaraku. Namun, Murad Reis kemudian dibunuh oleh tentara pendudukan pada hari Jumat di Istanbul sehingga aku tak mempunyai sanak-sau­dara selain ibuku, kakak perempuanku, dan dua sau­dara sepupu, yaitu dua gadis cilik yatim piatu akibat kedua orangtua mereka meninggal sebagai korban perang. Kami hidup melarat dan merana.

Pada saat itu, sewaktu berumur enam atau tujuh tahun, aku diasuh oleh ternan sekolah ayahku, Seyyid Syekh Abdurrahman Samiyyi Saruhani yang bergiat di Tarekat-tarekat Kadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Usyakiyyah, dan Halveti sampai aku berusia dua belas tahun. Selama masa itu, aku berhasil menamatkan sekolah dasar hingga duduk di kelas dua sekolah menengah pertama ketika Allah memanggil Syekh yang kucintai dan menyayangiku ini sebagaimana ayahku sendiri ke haribaan-Nya. Kala itu, aku se­dang belajar Alquran dan telah menghafal banyak surah. Aku rampung belajar menghafal Alquran di bawah bimbingan imam Masjid Fatih, Mehmed Rasim Efendi. Selama delapan tahun berikutnya, aku belajar hadis dan hukum Islam kepada Arnavut Husrev Efendi. Kemiskinan memaksaku untuk bekerja pada siang hari, tetapi pada malam hari aku belajar di bawah arahan Gumuljineli Mustafa Efendi, yang di­juluki "Perpustakaan Berjalan".

Selama itu pula, aku menjadi muazin mula-mula di Masjid Ali Yaziji dan kemudian di Masjid Soghan Agha. Dari sana, aku pindah ke Masjid Kefeli di Karagumruk, tempat aku diajari hal-ihwal penjualan buku oleh imamnya, Syakir Efendi. Lalu, aku di­tunjuk sebagai muazin di Masjid Agung Beyazit, yang di sampingnya terdapat sebuah pasar buku. Semasa mengabdi di Masjid Agung Beyazit inilah aku berjumpa dengan imam Kota Bakirkoy, yaitu Hafiz Ismail Hakki Efendi, yang mengagumi suara dan lagu azanku. Beliau adalah murid Eyuplu Hafiz Ahmed dan putra seorang pemusik ternama Zekai Efendi dari Tarekat Mevlevi. Lantas, beliau mengajariku lagu­lagu pujian clan ode-ode keagamaan yang disebut ilahi, kaside, durak, mevlud, dan mersiye. Guruku ini sangat menyukaiku sehingga beliau menjodohkanku dengan saudara perempuan dekatnya, Gulsum Hanum, se­orang kepala sekolah. Maka, jadilah aku bagian dari keluarga beliau. Selanjutnya, aku tinggal di rumah istriku, de kat Masjid Suleymaniye yang dibangun oleh seorang arsitek terkenal, Sinan. Kemudian, aku di­angkat sebagai imam Masjid Veznejiler, dan selama dua puluh tiga tahun diminta menjadi imam tamu di Masjid Agung Suleymaniye pada bulan Ramadhan. Saat masjidku ini ambruk, aku diangkat jadi imam masjid di sebuah pasar.

Lantaran masjid ini tak memiliki mimbar dan, makanya, tak digunakan untuk salat Jumat, masya­rakat sekitar bergotong-royong merenovasi sebuah masjid lain yang hampir runtuh dan, atas desakan mereka, aku mulai mengimami salat Jumat saban minggu di sana. Masjid yang telah direnovasi ini dikenal sebagai Masjid Jamili Han. Meskipun se­karang telah lengser dari jabatan imam tetap, aku masih memimpin salat Jumat di sana dan memberi­kan ceramah-ceramah dalam kapasitasku sebagai imam tamu. Kini, aku mempunyai sebuah toko buku besar, yang dikunjungi orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Aku dapat mempelajari manuskrip-manuskrip kuno untuk mendulang pengetahuan, sebab sebelum mengikuti dinas militer aku telah belajar kaligrafi dan seni dekorasi dari para kaligraf besar di Akademi Seni Murni, seperti Hajji Kamil, Hajji Nureddin, dan Turakesy Ismail Hakki Bey, dan aku telah beroleh pengalaman berjualan buku selama empat puluh dua tahun.

Perkawinan pertamaku bertahan selama dua puluh tahun, tetapi kami tak dikaruniai keturunan. Aku menikah lagi sesudah istri pertamaku Gulsum Hanum meninggal, dan sekarang aku mempunyai seorang putri dan seorang putra. Aku telah menunaikan ibadah haji ke Makkah dan Madinah sebanyak sebelas kali. Aku pernah enam kali pergi ke Irak, delapan kali ke Suriah dan Pales­tina, tiga kali ke Mesir. Di negara-negara tersebut, aku mengenal ban yak sufi dan syekh. Aku juga per­nah berjumpa dengan para syekh dan ulama di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki, bersahabat dengan mereka, dan mempelajari pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Akan tetapi, dari seluruh pribadi mulia yang per­nah kujumpai itu, aku mendapatkan paling banyak pelajaran adiluhung dari orang yang menjadi peno­long dan syekh pertamaku selama masa-masa yang pedih-perih. Dialah Syekh Samiyyi Saruhani Usysya­kiyul-Halveti. Sosok suci ini menulis lebih dari dua puluh kitab tentang hukum Islam dan tasawuf, dalam bahasa Turki dan Arab. Seluruh karyanya telah diter­bitkan. Aku juga mengetahui banyak karya beliau tentang ilmu kimia, alkemi!, pengobatan herbal, dan bidang-bidang lainnya, yang hancur akibat sebuah kebakaran yang juga memusnahkan banyak tempat di Kota Istanbul. Senyatanya, beliau sendiri juga me­musnahkan sebagian bukunya tentang ilmu kimia dan alkemi karena merasa ragu apakah buku-buku terse but kelak akan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang baik atau malah sebaliknya. Pribadi yang meng­agumkan ini, yang bersamanya aku menghabiskan banyak masa mudaku, disukai dan dihormati semua orang lantaran wataknya yang luhur, lelucon-Ielucon­nya yang apik, kemurahan, keteguhan, keramahan, dan kerendahan hatinya.

Sosok mulia berikutnya yang membimbingku se­masa aku masih belia adalah syekh Halveti lainnya dari cabang Syabaniya, yaitu Seyyid Syekh Ahmed Tahir ul-Marasyi. Spesialisasinya adalah Syekh Ibn al-'Arabi. Darinya, aku belajar al-Futuhat al ­Makkiyyah dan Fushush al-Hikam. Aku belajar tafsir Alquran dengan bimbingan Nevsyehirli Hajji Hayrul­lah dan Atif Hoja. Aku mengikuti ajaran-ajaran Hajji Abdul Hakim Arvasi dan Syekh Syefik Efendi. Dengan bekal kearifan yang kuterima dari tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini, aku kemudian berdakwah dan meng­ajar umat selama tiga puluh tahun di empat puluh dua masjid di Istanbul, termasuk banyak sekali je­maah di masjid-masjid besar Sultan Ahmed (Masjid Biru), Yeni Jami, Nuruosmaniye, Beyazit, Laleli, Valide Sultan, Fatih, Eyub, Kojamustafa Pasya, dan Suley­mamye.

Selagi muda ketika belajar tafsir Alquran di Masjid Aya Sofya di Istanbul, aku mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Beliau sedang menunggang unta, yang dituntun oleh 'AI. ra., sambil di tangan se­belahnya menggenggam pedang bermata dua kesayang­annya yang terkenal, Dzu al-Fiqar. Menghampiriku, Nabi bertanya apakah aku beriman dan apakah aku muslim. Ketika aku mengiyakannya, beliau bertanya kembali apakah aku akan memberikan kepalaku untuk Islam. Aku mengiyakannya lagi. Lantas, Nabi meminta Imam 'All untuk memenggal kepalaku atas nama Islam. Imam 'Ali menyuruhku mengulurkan leher, kemudian memenggalnya dengan sekuat tenaga hingga kepalaku terputus dari tubuhku. Lantas, aku terbangun ketakutan.

Saat bertemu dengan guru tafsirku, aku menutur­kan mimpiku ini dan aku juga menceritakan siapa ayahku. Aku tahu beliau adalah ternan karib almar­hum ayahku, tetapi sebelumnya aku tak pernah menga­takannya. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Ah, ternyata kamu putra sahabat karibku selama pembuangan." Ayah dan guruku ini termasuk di antara tujuh ratus syekh dan teolog yang dibuang ke Pantai Sinop di Laut Hitam oleh kaum revolusio­ner Gerakan Persatuan dan Kemajuan karena mereka berdua mendukung sultan. Pembuangan terhadap para pemuka agama ini terus berlanjut sampai Perang Dunia I meletus pada 1914. Guruku kemudian menakwil mimpiku itu dan mengatakan bahwa aku akan mengikuti jalan sufi 'Ali dan menjadi syekh di sebuah tarekat.

Bertahun-tahun setelah mimpi tersebut, ketika aku membuka sebuah toko buku-buku langka dekat Masjid Beyazit dan menjadi imam dan dai yang di­kenaI banyak orang, aku bermimpi lagi. Aku merasa berada di tengah-tengah Bosphorus antara Istana Topkapi dan Uskudar, dalam sebuah perahu kecil yang layarnya robek dan tiangnya patah. Badai meng­amuk dengan dahsyat. Sese orang memberiku selem­bar kertas dan memintaku memoacanya agar aku selamat dari malapetaka ini. Manakala bangun pad a keesokan paginya dan pergi ke toko bukuku, aku benar-benar melihat orang yang memberiku kertas dalam mimpiku serna lam sedang melintas di depan tokoku. Namun, aku tak berani menyapanya. Bebe­rapa hari berikutnya, aku bermimpi bertemu dengan­nya lagi. Dia berjalan di seberang jalan dan memberi isyarat dengan tongkatnya kepadaku. Esok harinya, sungguh ajaib, aku melihatnya lagi melintas di depan tokoku. Aku merasa mimpi-mimpiku ini mempunyai makna spiritual, tetapi aku belum mengerti. Tak lama kemudian, aku melihat orang yang sarna dalam mimpi­ku lagi; dia memelukku sedemikian kuat sehingga tulang-tulangku terasa rem uk. Lalu, dia melepaskan­ku, mengenakan mahkota kebesaran Tarekat Halveti, dan menyematkan serban di kepalaku. Serb an ini terasa be rat sekali, solah-olah tujuh langit ambruk menimpa kepalaku.

Segera setelah tiba di tokoku pada pagi harinya, aku melihat orang itu berjalan dengan tongkatnya. Aku berkata pada diri sendiri: "Ini pasti mengan­dung suatu misteri dan pes an spiritual. Aku tidak akan memanggil orang itu. Biarlah dia mendatangiku dengan sendirinya." Dia berjalan mendekat, dan pandangan mataku mengikutinya. Lalu, dia berhenti di depan tokoku, kepalanya melongok lewat pintu, dan dia berkata, "Kamu ini keras kepala. Tiga kali kamu melihatku. Kapan kamu akan mulai beriman?" "Saat ini juga," kataku seraya menyalami dan mencium tangannya. Orang kudus ini adalah Seyyid Syekh Ahmed Tahir ul-Marasyi, syekh Tarekat Halveti­Syabani. Alkisah, aku menjadi darwisnya, dan beliau datang ke tokoku setiap hari. Kadang beliau ber­bicara, tetapi kadang diam membisu, begitulah cara beliau mengajarku. Aktivitas ini berlangsung selama tujuh tahun. Selama itu, aku bertemu dengan seorang ternan guruku, Evranoszade Sami Bey, yang berasal dari tare­kat yang sarna. Beliaulah yang mewisudaku dengan memakaikan jubah darwis di pundakku. Pada upa­cara itu, aku merasa baru memiliki sedikit penge­tahuan sehingga aku keberatan untuk memakai jubah. "Ya Guru, alangkah lancangnya diriku sehingga orang seperti Anda memakaikan jubah untukku?" Aku di­beri tahu bahwa meskipun jiwaku belum mampu menangkap makna-makna yang halus, mereka tetap menyuruhku mengenakan jubah darwis.

Sami Bey wafat pada suatu Laylah al-Qadr. Tiga tahun kemudian, Guruku Tahir Efendi jatuh dan ping­gulnya retak ketika dia keluar dari tokoku. Saat aku coba memapahnya, beliau berkata, "Mereka telah berusaha membinasakanku, dan sekarang mereka ber­hasil." Beliau wafat tiga bulan berikutnya. Ketika aku membesuknya sebelum beliau meninggal, beliau memperlihatkan kepadaku mahkota orang kudus Ibrahim Kusyadali dan kemudian berujar, "Jika aku dipanggil Allah, kuminta Mustafa Efendi merawat mahkota ini." Mustafa Efendi adalah salah satu kha­lifahnya. Lalu, suatu hari guruku memanggilku dan menyampaikan keinginanan terakhirnya. Beliau wafat sehari berikutnya, yaitu hari Sabtu, ·dan kami menge­bumikannya di makam Masjid Fatih di samping ma­kam Syekh Turbedar Efendi, yang dulu merupakan syekh beliau. Pada malam itu, sesudah memasrahkan diri ke­pada Allah apakah aku harus menjadi darwis Mustafa Efendi, aku bermimpi bahwa dia menertawakanku terkekeh-kekeh. Aku tak tahu makna mimpi ini se­hingga aku kembali memasrahkan semuanya kepada­Nya. Pada malam berikutnya, aku bermimpi bahwa beliau meneriakiku dengan nada marah dan menye­butku sebagai "orang yang lembek". Orang lembek sepertiku tak dapat menjadi darwisnya. Maka, kala itu aku hidup sendiri tanpa seorang syekh, seraya menunggu ilham dari Allah. Pada masa-masa itu, aku mendatangi tekke Qadiriyyah di Beyoglu dan juga tekke Rifaiyyah di Kasim Pasya. Tekke Halveti sudah ludes terbakar. Hanya dua tekke itulah yang kini tersisa sebagai pusat majelis zikir.

Waktu itu, Gavsi Efendi, syekh Tarekat Qadiriyyah, coba membujukku untuk menjadi khalifahnya me­lalui para utusannya semisal Ismail Efendi, syekh Tarekat Bedevi; Jevat Efendi, syekh Tarekat Sadi; dan Kolonel Salahettin Efendi, syekh Tarekat Sunbuli. Aku mengatakan kepada mereka bahwa walaupun syekhku telah meninggal, aku masih menjadi anggota Halveti. Oleh sebab itu, aku tak bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi harus menyerahkan keputusan ini ke­pad a Allah dan menunggu ilham-Nya. Jika Allah meng­izinkanku, aku tak perlu menjadi khalifah Syekh Gavsi Efendi, tetapi akan dengan segenap ungkapan terima kasih menjadi darwisnya yang sederhana. Akan tetapi, Syekh Gavsi Efendi terus mendesak­ku, dan akhirnya memaksaku agar datang ke dergah­nya (tempat para sufi berkumpul), tanpa aku sempat bercukur, pada Jumat besok, yang merupakan hari suci Ragha'ib, yakni Jumat pertama bulan Rajab.

Malam itu, aku berdoa dan memasrahkan ma­salahku ini kepada Allah, serta bermimpi bahwa aku sedang berzikir di tekke Halveti-Jerrahi di Karagumruk, tanpa serban, tanpa alas kaki, dan setengah te1an­jang, sementara Syekh Seyyid Fahri Efendi duduk di dekat jende1a dengan pakaian biasa dan berkopiah putih. Beliau melantunkan puji-pujian gubahan Syekh Galip: "Wejanganmu dibacakan di mimbar keabadi­an; putusan untukmu diberikan di pengadilan hari kiamat; syair pujian kepadamu mengalun di bumi dan di surga. Engkaulah Ahmad, Mahmud, Muhammad­ku terkasih." Aku terbangun, dan kini semuanya telah jelas: aku akan menjadi darwis Halveti-Jerrahi. Namun, bagaimana cara menemui Syekh Fahri Efendi? Sejauh pengetahuanku, tekke-nya telah tutup. Aku hanya mengenalnya sebentar ketika dulu belajar hadis dari Mustafa Efendi, Sang "Perpustakaan Berjalan". Dia­lah yang membawaku kepada Syekh Fahri Efendi dan mengeluh kepadanya bahwa aku sekarang men­jadi kelewat rijid dan dogmatik, kemudian menyuruh­ku mencium tangannya serta memohon kepadanya supaya mendoakanku. Akan tetapi, itu terjadi sekian tahun silam. Mungkin aku pernah bertemu dengan­nya beberapa kali pada bulan Ramadhan ketika kami diundang untuk berbuka puasa di rumahnya. Aku masih kecil waktu itu. Lalu, aku menjadi dai yang lumayan dikenal, dan mempunyai banyak pengikut. Tatkala tekke-tekke ditutup secara resmi, para sufi­nya mengadakan pertemuan-pertemuan secara ter­sembunyi. Aku kala itu bahkan tak tahu apakah Syekh Fahri Efendi masih mengajar dan memiliki pengikut. Tetapi, aku berketetapan untuk datang ke rumahnya pada larut malam satu hari setelah aku berdoa dan bermimpi. Aku meyakinkan diri bahwa para syekh adalah orang-orang yang sangat ramah dan beliau takkan menolak membukakan pintu rumahnya untukku.

Pintu rumahnya dibuka oleh seorang darwis muda, lalu aku memperkenalkan diri dan meminta izin untuk bertemu Syekh Fahri Efendi. Aku dipersilakan masuk ke sebuah ruang kecil yang di dalamnya aku melihat beliau sedang bersama tiga orang lainnya. Beliau berdiri menyambutku sebagai wujud sikap penghargaannya kepada tamu, dan menyilakanku duduk. Aku sudah siap untuk menanggalkan kebiasaanku merokok, te­tapi beliau malah menawariku sebatang rokok dan berkata sembari tersenyum, "Jangan malu. Ayolah merokok dan juga minum kopi. Kopi tanpa rokok ibarat tidur tanpa selimut pada musim dingin." Beliau menambahkan, "Di sini, lebih baik kita saling meng­asihi daripada menghormati." Beliau menanyakan maksud kedatanganku, kemudian aku mengungkap­kan apa yang sedang terjadi antara diriku dan Syekh Kadiri Gavsi Efendi, dan menceritakan jawaban yang kuperoleh setelah berdoa dan bermimpi. Aku pun men­ceritakan siapa diriku, tempat kelahiranku, dan siapa ayahku. Beliau tertawa, kemudian berucap, "Siapa yang tak kenaI dai kondang khusus Muslimah?" Andai dapat menemukan sejumlah lelaki, aku juga akan menyampaikan dakwah kepada mereka," aku menimpalinya.

Dalam Islam, tentu saja tak ada perbedaan pen­ting antara lelaki dan perempuan. Aku senyatanya berdakwah kepada kaum Muslim dan Muslimah, te­tapi aku mengerti maksud perkataan beliau: Lelaki tak pernah berhalangan untuk mengingat dan menyeru asma Allah setiap saat. Lantas, beliau berkata, "Mim­pimu memang menunjuk pada kami, tetapi perkenan­kan aku berdoa dulu kepada Allah dan menunggu jawaban-Nya." Beliau memintaku datang lagi pada hari Senin. Aku pun pulang.Pada hari Senin, Sefer Efendi, seorang darwis muda dan kini menjadi khalifahku, membawa se­pucuk surat dari Syekh Fahri Efendi untukku yang mengabarkan bahwa aku tak jadi diminta datang hari Senin, tetapi hari Jumat. Pada hari Jumat, se­telah menerima jawaban positif dari Allah Yang Maha­gaib, Syekh Fahri Efendi menerimaku sebagai darwis­nya. Maka, aku dapat mengambil keputusan dengan mantap untuk menjadi darwis Halveti-Jerrahi, bukan khalifah di Tarekat Kadiriyyah. Aku melakoni ke­wajiban-kewajibanku sebagai darwis seteliti mungkin, dan menemui syekhku dua atau tiga kali seminggu. Beliau adalah seorang yang periang, sangat humoris, berani, cerdas, dan bijaksana; seorang ahli tafsir mimpi, inilah keistimewaan kelompok Halveti. Bercakap-cakap dengan beliau sungguh menyenangkan, dan karomah­karomahnya terkenal. Sebagai tokoh yang dicintai dan dihormati oleh semua orang, beliau membuat kita merasakan cinta Rasulullah dan misteri orang-orang kudus. Beliau merupakan sosok penyayang dan baik hati, melindungi orang-orang rudin dan menggerak­kan setiap orang untuk mendekat kepadanya.

Adakalanya, beliau bergurau denganku-untuk mengetahui reaksiku-sampai sedemikian jauh sehingga aku hampir marah. Lalu, beliau akan menyatakan se­cara terbuka bahwa aku diminta bertemu dengan almarhum Syekh kami Nureddin Jerrahi dan tak se­orang pun boleh menyentuhku. Aku mendapat infor­maSl bahwa Syekh Fahri Efendi sering menyebut namaku enam bulan silam sebelum kedatanganku ke tekke ini. Enam bulan setelah menjadi darwis ]errahi, aku bermimpi didatangi oleh tiga orang yang akan mengujiku. Dari tanya-jawab dengan mereka, aku tahu bahwa dua orang di antaranya akan melulus­kanku, tetapi orang yang ketiga menginginkan sebalik­nya. Ujian ini dimaksudkan untuk memilih seorang imam. Aku berhasil meyakinkan orang ketiga itu bahwa aku adalah imam, dan kemudian mereka ber­sepakat bulat menerimaku sebagai imam.

Meskipun tahu bahwa mimpi ini harus segera kusampaikan kepada Syekh, aku tidak sempat menyampaikannya sampai keesokan harinya karena aku sangat sibuk. Malamnya, aku tidur setelah salat selama empat atau tiga jam, dan mendapat mimpi yang sangat buruk dan memalukan. Saat bangun, aku kaget sekali dan kemudian berkata pada diriku sendiri, "Inilah buah dari salat tiga atau empat jam itu." Agaknya, aku tak bisa menemui Syekhku pada siang itu, tetapi bila aku bertemu dengannya, bagai­mana aku harus menceritakan mimpi yang memalu­kan ini? Pada malam ketiga, aku bermimpi datang ke tekke dan melihat para darwis sedang salat dengan cara yang sangat ganjil, salah melafalkan bacaan-baca­annya dan salah mengerjakan gerakan-gerakannya. Aku melewati mereka dengan perasaan heran, dan bertemu dengan Syekh di taman. Beliau menjewer sebelah telingaku ke atas sehingga aku terangkat naik

dari atas tanah. Tangan beliau lainnya mengibas-ibas tubuhku sebelah kiri seakan-akan beliau sedang mem­bersihkan karpet. Lantas, beliau menarikku masuk ke dalam sebuah ruang yang penuh dengan sampah. Be1iau memberi perintah: "Bersihkan ruangan ini, dan kamu akan tinggal di sini." Aku melihat ruang milik ketua khalifah tersebut.

Sewaktu bangun, aku sadar bahwa inilah hu­kuman yang kuterima karena tak menceritakan mimpi­ku kepada Syekh. Aku bergegas ke rumahnya dan menceritakan semua mimpiku kecuali mimpi yang memalukan itu. Be1iau tersenyum dan berkata, "Kamu tak mungkin mendapat dua mimpi itu tanpa sebuah mimpi yang memalukan di antaranya." Aku meminta darwis-darwis lain meninggalkan kami berdua, dan aku akan menceritakan mimpi yang memalukan ini kepada Syekh. Seusai aku bercerita, beliau meng­angkatku sebagai khalifahnya. Selama sembilan tahun, kami hid up bersama da­lam hubungan yang sangat karib. Setahun sebe1um wafat, beliau jatuh sa kit ketika sedang berzikir, dan kemudian memberiku amanah untuk memimpin ma­jelis zikir di sana. Aku memimpin maje1is zikir selama be1iau sa kit, se1ama satu tahun. Akhirnya, pada 5 Sya'ban, yakni hari mati syahidnya Imam Hasan, Rabu malam pukul 20.50, Syekh Fahri Efendi pergi ke alam baka, ke taman surga nan tinggi, dan mem­peroleh tempat yang dekat dengan Rasulullah Muhammad. Pada hari berikutnya, sesuai dengan wasiat terakhirnya, aku mewudukan beliau dibantu oleh Sefer Baba dan Kemal Baba yang menuangkan airnya. Hari Jumat, aku memimpin salat jenazah di Masjid Fatih.

Selanjutnya, dengan diiringi ribuan pengikutnya, kami menggotong jenazah beliau masuk ke dalam ruangannya di tekke, yang beliau bangun tujuh tahun sebelum meninggalnya, dan kemudian memakamkan­nya di samping makam Syekh kami Nureddin Jerrahi. Doa pemakamannya dipimpin oleh Syemseddin Yesyil Efendi yang terkenal itu. Memenuhi mimpiku-dan walaupun aktivitas-aktivitas para sufi dilarang serta tekke-tekke ditutup oleh pemerintah-tepat sehari sesudah kepergian Syekh Fahri Efendi, aku membuka pintu-pintu tekke untuk masyarakat luas, para saha­bat, dan lawan-Iawan kami. Setelah duduk di singgasana Syekh Nureddin Jerrahi yang dilapisi kulit domba selama lima belas tahun sebagai pemimpin tarekat ini, aku dengan sa bar terus mengajar darwis-darwisku yang berkebangsaan Turki dan juga banyak pecinta kebenaran dari se­luruh penjuru dunia.

Aku menjadi Syekh ke-19 dan khalifah kedela­pan semenjak berdirinya cabang Halveti-Jerrahi kami. Dengan segenap kekuatan yang Allah limpahkan, ha­rapan Nabi-Nya, kedamaian Syekhku, spiritualitas seluruh Syekh sebelumku, berkah dan iman guru dan penolongku, aku terus memberikan bimbingan spiri­tual kepada para pecinta kebenaran itu sampai akhir hayatku. Aku hanya memiliki dua orang anak kan­dung, tetapi Allah mahamengetahui berapa jumlah anak-anak spiritualku. Aku telah beroleh karunia me­lihat Nabi Muhammad saw. tujuh belas kali dalam mimpi-mimpiku. Aku juga pernah sekali melihat Nabi Musa, Isa, Yahya, dan Khidir. Aku pernah melihat dua sahabat mulia, Abil Bakar dan 'Vmar, dan da­lam sebuah mimpi aku mencium tangan mereka. Aku pernah melihat Fathimah dan Imam 'Ali dua kali, Imam Hasan dan Husain sekali. Aku pernah melihat Syekh Nureddin Jerrahi dua kali, dan menerima salamnya.

Aku pernah enam kali pergi ke Jerman, dua kali ke Inggris, dua kali ke Belanda dan Belgia, serta empat kali ke Paris. Aku pernah bertemu dengan banyak orang yang baik dan menarik dalam per­jalanan-perjalanan ke luar negeri. Aku pun pernah mengunjungi Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, dan Yunani. Aku pernah bertandang empat kali ke Amerika, yang di sana aku dan para darwisku ber­zikir dan berdiskusi di ban yak kota. Hanya Allah yang mengetahui apa yang akan terjadi. Aku berdoa agar cinta para kekasih Allah semakin lama semakin tumbuh besar. Seluruh ke­berhasilan datang dari Allah semata.